Jumat, 14 Desember 2012

Antosianin Kulit Buah Manggis, Alternatif di Tengah Maraknya Pewarna Sintetis



Anak-anak suka sekali dengan makanan yang berwarna-warni, apalagi jika harganya murah, seperti kembang gula, permen, gorengan, tahu, sirup, kerupuk, sosis, cendol, biskuit dan lain-lainnya. Warna yang cerah dan kuat akan menarik perhatian pembeli karena makanan ini eyecatching.
Ini menjadi sebab utama mengapa sampai sekarang makanan tetap diberi pewarna. Makanan ini dapat kita temukan dengan mudah baik itu di sekolah, pasar, swalayan, dll. Di Indonesia sendiri, makanan ini dijual eceran oleh abang-abang yang tidak memiliki pengetahuan memadai tentang apa saja yang sehat ataupun tidak untuk dimakan, apalagi mengenai pewarna yang digunakan. Penjual hanya tahu membeli zat pewarna yang harganya murah untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin tanpa mencari tahu apa bahayanya.
Buktinya, seperti dilansir dalam berbagai website, pada tanggal 26 Oktober 2011, Eddy S. Warsa dari Disperindag, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, menyita 2.500 tahu di pasar Bogor karena mengandung methanyl yellow. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan pembeli dan konsumen, karena methanyl yellow merupakan bahan kimia yang berbahaya. Efek sampingnya mungkin tidak kelihatan langsung, namun efek jangka panjangnya diketahui akan membahayakan tubuh. Salah satu bahaya yang dirilis oleh The Lancet, jurnal kesehatan yang berpusat di Inggris, adalah kondisi hiperaktif yang ditemukan pada anak-anak berusia 6-9 tahun yang diberi jus dengan campuran pewarna. Kondisi hiperaktif ini diamati oleh orang di sekitarnya dan meningkat sekitar 10%. Penelitian ini menunjukkan bahwa bahkan pewarna sintetis yang dibuat untuk makanan saja memiliki efek merugikan terhadap kesehatan, apalagi pewarna sintetis untuk tekstil yang tujuannya bukan untuk dimakan.
Methanyl yellow ini merupakan salah satunya. Pewarna ini tidak dikhususkan untuk dimakan, namun ironisnya pewarna ini ditemukan pada banyak makanan yang dijual di pasaran, seperti tahu kuning yang sempat disita oleh Disperindag di Bogor. Bahaya dari methanyl yellow ini adalah mual, muntah, diare, tekanan darah rendah, panas, sakit perut, dan parahnya menyebabkan kanker pada kandung kemih dan saluran kandung kemih.
Zat pewarna lainnya adalah Rhodamine B yang dapat menyebabkan iritasi pada saluran pencernaan, iritasi pada kulit, iritasi pada mata, keracunan, dll. Efek jangka panjang dari konsumsi Rhodamine B adalah gangguan fungsi hati hingga kanker hati. Sebagian besar zat pewarna tekstil bersifat karsinogenik, dan efeknya tidak terlihat langsung serta merta setelah mengonsumsi makanan yang mengandung pewarna tekstil. Namun, akan terjadi akumulasi zat tersebut dalam tubuh karena pewarna tekstil tidak dapat terurai secara sempurna oleh sel tubuh kita. Karena itulah, solusi untuk menyediakan pewarna makanan yang alami dan tidak berbahaya menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
Walaupun sederhana, nyatanya permasalahan pewarna makanan ini sudah seperti layaknya permasalahan global bagi bangsa ini. Karena tanpa kita pungkiri, kebaradaan pewarna makanan sudah menjadi hal yang strategis di tengah masyarakat. Poin yang paling mengerikan sebenarnya adalah ketidaktahuan masyarakat tentang hal ini. Bayangkan saja, masyarakat yang seharusnya memegang peranan sebagai pengontrol dalam komunitas, malah menjadi objek penderita paling besar karena faktor ketidaktahuan. Pemerintah dan pihak produsen pun seakan menutup mata atas permasalahan ini. Hal yang paling dikhawatirkan adalah jangan sampai pada akhirnya permasalahan ini menjadi dianggap biasa di negara ini dan menyebabkan masyarakat kita menjadi generasi yang tidak sehat.
Di sisi lain, desakan perekonomian masyarakat, khususnya menengah ke bawah pun juga tidak bisa kita abaikan. Karena ternyata memang akar permasalahan ini lagi-lagi bersumber dari ketidaksejahteraan masyarakat. Faktor-faktor yang saling terkait inilah yang membuat permasalahan ini sudah selayaknya permasalahan global bagi negara ini. Apabila kita berbicara mengenai solusi, yang sudah pernah ditawarkan tentunya adalah "pembuatan kebijakan", "pengawasan peraturan", atau "penindakan yang tegas". Hal-hal tersebut memang sudah mutlak harus dilakukan, namun nyatanya pelaksanaannya belum pernah benar-benar efektif, dan yang paling penting, tidak mampu menyelesaikan akar permasalahan dari fenomena ini. Sehingga, sebuah solusi alternatif yang cerdas dan komprehensif mutlak diperlukan, bukan hanya untuk memotong peredaran bahan pewarna makanan sintesis, tapi juga untuk memberikan paradigma baru bagi masyarakat Indonesia – terutama yang selama ini menjadi pelaku dalam kasus bahan pewarna sintetis ini - akan arti pentingnya sebuah kesehatan.
Salah satu alternatif pewarna yang potensial namun belum banyak temanfaatkan adalah zat warna antosianin. Antosianin merupakan pigmen yang dapat memberikan warna biru, ungu, violet, magenta, merah, dan oranye pada bagian tanaman seperti buah, sayuran, bunga, daun, akar, umbi, legum, dan sereal. Pigmen ini bersifat larut dalam air dan dapat digunakan sebagai pewarna alami pada pangan. Selain itu, beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa antosianin mempunyai aktifitas biologis seperti antioksidan, antiinflamasi, antikarsinogenik, antidiabetik, neuroprotektif. Antosianin juga dapat mengurangi risiko penyakit jantung koroner melalui aktifitas vasoprotektif, penghambatan agregasi platelet dan oksidasi LDL. Karena banyaknya manfaat, dan terlebih fungsinya yang sangat potensial sebagai pewarna alami yang aman bagi manusia, maka seharusnya antosianin ini bisa lebih dimanfaatkan untuk mengganti tren pewarna makanan sintetis saat ini.
Salah satu hal yang menarik dari antosianin adalah sumbernya yang ternyata sangat melimpah, dan banyak diantaranya yang unik dan menguntungkan untuk dimanfaatkan. Apa contohnya? Ternyata, sampah organik seperti kulit buah manggis mengandung senyawa antosianin yang cukup melimpah dan sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai pewarna alami. Kulit buah manggis (Garcinia mangostana), memang sudah terbukti sebagai penghasil zat warna alami. Pigmen antosianin yang terkandung dalam kulit buah manggis merupakan antosianin dari jenis cyanidin-3-sophoroside, dan cyanidin-3-glucoside.
"Ternyata, sampah organik seperti kulit buah manggis mengandung senyawa antosianin yang cukup melimpah dan sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai pewarna alami."
Bila dilihat dari keekonomiannya, pemanfaatan buah manggis sebagai bahan baku pewarna alami terlihat sangat prospektif. Produksi manggis Indonesia pada tahun 2007 mencapai 112.722 ton namun, hanya sekitar 5.697 ton dari jumlah total produksi sekitar 72.634 ton yang dapat diekspor (Anonim, 2008). Sisanya dipasarkan didalam negeri dengan harga yang jauh lebih murah. Hal ini dikarenakan buah manggis tersebut memiliki grade yang rendah dikarenakan cacat maupun undersize (Anonim, 2008). Melihat jumlah buah manggis undergrade yang mencapai 66.937 ton atau sebanyak 92% dari total produksi manggis, maka sangatlah disayangkan bila buah manggis tersebut tidak diolah lebih lanjut agar memiliki nilai tambah dengan harga jual yang lebih tinggi.
Saat ini, penggunaan antosianin sebagai pewarna semakin meluas tidak hanya sebagai pewarna wine tetapi juga sebagai pewarna soft drink, jam, jeli, produk confectionary maupun frozen food (Anonim, 2009). Selain itu, trend masyarakat yang lebih memilih back to nature ataupun healty lifestyle turut mendukung terjadinya peningkatkan permintaan pasar akan antosianin sebagai pewarna makanan alami. Melihat hal ini, peluang untuk memasarkan produk pewarna alami ini semakin terbuka lebar dan dapat berkembang menjadi semakin besar sebagai bisnis yang menjanjikan. Sebagai bisnis yang akan berkembang ke depannya, diharapkan industri antosianin dari buah manggis ini bisa menyerap banyak tenaga kerja aktif dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Disamping itu, kenyataan bahwa masih ada potensi lain, seperti contohnya kulit buah rambutan yang ternyata bisa bersanding melengkapi buah manggis menjadi sebuah harapan baru terhadap akan berkembangnya industri pewarna alami di Indonesia. Sehingga diharapkan solusi transformasi tren pewarna makanan di negara ini bisa menjadi awal baru bagi Indonesia yang lebih sehat dan juga bisa turut menyelesaikan permasalahan perekonomian yang bisa jadi merupakan akar dari fenomena pewarna sintetik di negara ini.

1 komentar:

  1. pada artikel diatas diketahui bahwa "Pigmen antosianin yang terkandung dalam kulit buah manggis merupakan antosianin dari jenis cyanidin-3-sophoroside, dan cyanidin-3-glucoside"dan "Ternyata, sampah organik seperti kulit buah manggis mengandung senyawa antosianin yang cukup melimpah dan sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai pewarna alami". Pertanyaannya bagaimana mengidentifikasi adanya senyawa cyanidin-3-glucoside dan dan cyanidin-3-sophoroside ketika ujicoba yang dilakukan dengan uji NMR? ditandai pada puncak mana terdapatnya cyanidin ini? dan selain pewarna alami antosianin memiliki antioksidan yang diduga memiliki radikal efek yang dapat melindungi sel-sel dari kerusakan oksidatif dan mengurangi risiko penyakit jantung dan kanker. Bagaimana dengan kadar yang digunakan ketika antosisnin diguanakan sebagai pewarna alami? apakah efek radikal tadi mampu berjalan maksimal?

    BalasHapus