Anak-anak
suka sekali dengan makanan yang berwarna-warni, apalagi jika harganya murah,
seperti kembang gula, permen, gorengan, tahu, sirup, kerupuk, sosis, cendol,
biskuit dan lain-lainnya. Warna yang cerah dan kuat akan menarik perhatian
pembeli karena makanan ini eyecatching.
Ini
menjadi sebab utama mengapa sampai sekarang makanan tetap diberi pewarna.
Makanan ini dapat kita temukan dengan mudah baik itu di sekolah, pasar,
swalayan, dll. Di Indonesia sendiri, makanan ini dijual eceran oleh abang-abang
yang tidak memiliki pengetahuan memadai tentang apa saja yang sehat ataupun
tidak untuk dimakan, apalagi mengenai pewarna yang digunakan. Penjual hanya
tahu membeli zat pewarna yang harganya murah untuk mendapatkan keuntungan
sebanyak mungkin tanpa mencari tahu apa bahayanya.
Buktinya,
seperti dilansir dalam berbagai website, pada tanggal 26 Oktober 2011, Eddy S.
Warsa dari Disperindag, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, menyita 2.500 tahu
di pasar Bogor karena mengandung methanyl yellow. Hal ini tentu saja
mengkhawatirkan pembeli dan konsumen, karena methanyl yellow merupakan bahan
kimia yang berbahaya. Efek sampingnya mungkin tidak kelihatan langsung, namun
efek jangka panjangnya diketahui akan membahayakan tubuh. Salah satu bahaya yang
dirilis oleh The Lancet, jurnal kesehatan yang berpusat di Inggris, adalah
kondisi hiperaktif yang ditemukan pada anak-anak berusia 6-9 tahun yang diberi
jus dengan campuran pewarna. Kondisi hiperaktif ini diamati oleh orang di
sekitarnya dan meningkat sekitar 10%. Penelitian ini menunjukkan bahwa bahkan
pewarna sintetis yang dibuat untuk makanan saja memiliki efek merugikan
terhadap kesehatan, apalagi pewarna sintetis untuk tekstil yang tujuannya bukan
untuk dimakan.
Methanyl
yellow ini merupakan salah satunya. Pewarna ini tidak dikhususkan untuk
dimakan, namun ironisnya pewarna ini ditemukan pada banyak makanan yang dijual
di pasaran, seperti tahu kuning yang sempat disita oleh Disperindag di Bogor.
Bahaya dari methanyl yellow ini adalah mual, muntah, diare, tekanan darah
rendah, panas, sakit perut, dan parahnya menyebabkan kanker pada kandung kemih
dan saluran kandung kemih.
Zat
pewarna lainnya adalah Rhodamine B yang dapat menyebabkan iritasi pada saluran
pencernaan, iritasi pada kulit, iritasi pada mata, keracunan, dll. Efek jangka
panjang dari konsumsi Rhodamine B adalah gangguan fungsi hati hingga kanker
hati. Sebagian besar zat pewarna tekstil bersifat karsinogenik, dan efeknya
tidak terlihat langsung serta merta setelah mengonsumsi makanan yang mengandung
pewarna tekstil. Namun, akan terjadi akumulasi zat tersebut dalam tubuh karena
pewarna tekstil tidak dapat terurai secara sempurna oleh sel tubuh kita. Karena
itulah, solusi untuk menyediakan pewarna makanan yang alami dan tidak berbahaya
menjadi hal yang penting untuk dilakukan.
Walaupun
sederhana, nyatanya permasalahan pewarna makanan ini sudah seperti layaknya
permasalahan global bagi bangsa ini. Karena tanpa kita pungkiri, kebaradaan
pewarna makanan sudah menjadi hal yang strategis di tengah masyarakat. Poin
yang paling mengerikan sebenarnya adalah ketidaktahuan masyarakat tentang hal
ini. Bayangkan saja, masyarakat yang seharusnya memegang peranan sebagai
pengontrol dalam komunitas, malah menjadi objek penderita paling besar karena
faktor ketidaktahuan. Pemerintah dan pihak produsen pun seakan menutup mata
atas permasalahan ini. Hal yang paling dikhawatirkan adalah jangan sampai pada
akhirnya permasalahan ini menjadi dianggap biasa di negara ini dan menyebabkan
masyarakat kita menjadi generasi yang tidak sehat.
Di
sisi lain, desakan perekonomian masyarakat, khususnya menengah ke bawah pun
juga tidak bisa kita abaikan. Karena ternyata memang akar permasalahan ini
lagi-lagi bersumber dari ketidaksejahteraan masyarakat. Faktor-faktor yang
saling terkait inilah yang membuat permasalahan ini sudah selayaknya
permasalahan global bagi negara ini. Apabila kita berbicara mengenai solusi,
yang sudah pernah ditawarkan tentunya adalah "pembuatan kebijakan",
"pengawasan peraturan", atau "penindakan yang tegas".
Hal-hal tersebut memang sudah mutlak harus dilakukan, namun nyatanya
pelaksanaannya belum pernah benar-benar efektif, dan yang paling penting, tidak
mampu menyelesaikan akar permasalahan dari fenomena ini. Sehingga, sebuah
solusi alternatif yang cerdas dan komprehensif mutlak diperlukan, bukan hanya
untuk memotong peredaran bahan pewarna makanan sintesis, tapi juga untuk
memberikan paradigma baru bagi masyarakat Indonesia – terutama yang selama ini
menjadi pelaku dalam kasus bahan pewarna sintetis ini - akan arti pentingnya
sebuah kesehatan.
Salah
satu alternatif pewarna yang potensial namun belum banyak temanfaatkan adalah
zat warna antosianin. Antosianin merupakan pigmen yang dapat memberikan warna
biru, ungu, violet, magenta, merah, dan oranye pada bagian tanaman seperti
buah, sayuran, bunga, daun, akar, umbi, legum, dan sereal. Pigmen ini bersifat
larut dalam air dan dapat digunakan sebagai pewarna alami pada pangan. Selain
itu, beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa antosianin mempunyai aktifitas
biologis seperti antioksidan, antiinflamasi, antikarsinogenik, antidiabetik,
neuroprotektif. Antosianin juga dapat mengurangi risiko penyakit jantung
koroner melalui aktifitas vasoprotektif, penghambatan agregasi platelet dan
oksidasi LDL. Karena banyaknya manfaat, dan terlebih fungsinya yang sangat
potensial sebagai pewarna alami yang aman bagi manusia, maka seharusnya
antosianin ini bisa lebih dimanfaatkan untuk mengganti tren pewarna makanan
sintetis saat ini.
Salah
satu hal yang menarik dari antosianin adalah sumbernya yang ternyata sangat
melimpah, dan banyak diantaranya yang unik dan menguntungkan untuk
dimanfaatkan. Apa contohnya? Ternyata, sampah organik seperti kulit buah
manggis mengandung senyawa antosianin yang cukup melimpah dan sangat mungkin untuk
dimanfaatkan sebagai pewarna alami. Kulit buah manggis (Garcinia mangostana),
memang sudah terbukti sebagai penghasil zat warna alami. Pigmen antosianin yang
terkandung dalam kulit buah manggis merupakan antosianin dari jenis
cyanidin-3-sophoroside, dan cyanidin-3-glucoside.
"Ternyata,
sampah organik seperti kulit buah manggis mengandung senyawa antosianin yang
cukup melimpah dan sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai pewarna
alami."
Bila
dilihat dari keekonomiannya, pemanfaatan buah manggis sebagai bahan baku
pewarna alami terlihat sangat prospektif. Produksi manggis Indonesia pada tahun
2007 mencapai 112.722 ton namun, hanya sekitar 5.697 ton dari jumlah total
produksi sekitar 72.634 ton yang dapat diekspor (Anonim, 2008). Sisanya
dipasarkan didalam negeri dengan harga yang jauh lebih murah. Hal ini
dikarenakan buah manggis tersebut memiliki grade yang rendah dikarenakan cacat
maupun undersize (Anonim, 2008). Melihat jumlah buah manggis undergrade yang
mencapai 66.937 ton atau sebanyak 92% dari total produksi manggis, maka
sangatlah disayangkan bila buah manggis tersebut tidak diolah lebih lanjut agar
memiliki nilai tambah dengan harga jual yang lebih tinggi.
Saat
ini, penggunaan antosianin sebagai pewarna semakin meluas tidak hanya sebagai
pewarna wine tetapi juga sebagai pewarna soft drink, jam, jeli, produk
confectionary maupun frozen food (Anonim, 2009). Selain itu, trend masyarakat
yang lebih memilih back to nature ataupun healty lifestyle turut mendukung
terjadinya peningkatkan permintaan pasar akan antosianin sebagai pewarna
makanan alami. Melihat hal ini, peluang untuk memasarkan produk pewarna alami
ini semakin terbuka lebar dan dapat berkembang menjadi semakin besar sebagai
bisnis yang menjanjikan. Sebagai bisnis yang akan berkembang ke depannya,
diharapkan industri antosianin dari buah manggis ini bisa menyerap banyak
tenaga kerja aktif dari kalangan masyarakat menengah ke bawah. Disamping itu,
kenyataan bahwa masih ada potensi lain, seperti contohnya kulit buah rambutan
yang ternyata bisa bersanding melengkapi buah manggis menjadi sebuah harapan
baru terhadap akan berkembangnya industri pewarna alami di Indonesia. Sehingga
diharapkan solusi transformasi tren pewarna makanan di negara ini bisa menjadi
awal baru bagi Indonesia yang lebih sehat dan juga bisa turut menyelesaikan
permasalahan perekonomian yang bisa jadi merupakan akar dari fenomena pewarna
sintetik di negara ini.
pada artikel diatas diketahui bahwa "Pigmen antosianin yang terkandung dalam kulit buah manggis merupakan antosianin dari jenis cyanidin-3-sophoroside, dan cyanidin-3-glucoside"dan "Ternyata, sampah organik seperti kulit buah manggis mengandung senyawa antosianin yang cukup melimpah dan sangat mungkin untuk dimanfaatkan sebagai pewarna alami". Pertanyaannya bagaimana mengidentifikasi adanya senyawa cyanidin-3-glucoside dan dan cyanidin-3-sophoroside ketika ujicoba yang dilakukan dengan uji NMR? ditandai pada puncak mana terdapatnya cyanidin ini? dan selain pewarna alami antosianin memiliki antioksidan yang diduga memiliki radikal efek yang dapat melindungi sel-sel dari kerusakan oksidatif dan mengurangi risiko penyakit jantung dan kanker. Bagaimana dengan kadar yang digunakan ketika antosisnin diguanakan sebagai pewarna alami? apakah efek radikal tadi mampu berjalan maksimal?
BalasHapus